Selasa, 27 Maret 2012

Sejarah Persatuan Islam

Sejarah Persatuan Islam

Persatuan Islam (Persis) berdiri pada abad ke-20 yaitu pada permulaan tahun 1920-an, tepatnya tanggal 12 September 1923 di Bandung. Adapun yang pertama mempunyai gagasan terbentuknya Persis ini adalah H. Zam-zam bersama temannya H. Muhammad Yunus. H. Zam-zam adalah seorang alumnus Darul-Ulum (Mekah) sejak tahun 1910-1912 beliau menjadi guru agama di Darul-Muta'alimin. Sedangkan H. Muhammad Yumus adalah seorang pedagang sukses, di masa mudanya beliau mendapatkan pendidikan agama secara tradisional dan menguasai Bahasa Arab sehingga beliau mampu mempelajari kitab-kitab secara autodidak.
H. Zam-zam dan H. Muhammad Yunus mempunyai latar belakang dan kultur yang sama. Hal inilah yang menyatukan mereka dalam mendalami keislaman. Mereka juga sering melakukan diskusi dengan tema sekitar gerakan keagamaan yang bergerak pada saat itu. Sering juga tema itu muncul dari permasalahan agama yang dimuat didalam majalah Al-Manar (terbitan Mesir). Salah satu tulisan yang sangat menyentuh emosi keagamaan mereka adalah tulisan Muhammad Abdul yang dimuat dalam majalah Al-Manar yaitu "Al-Islam Mahjubun bil Muslimin". Ungkapan ini sangat terkenal di kalangan pembaharuan Islam baik di Timur Tengah maupun di Indonesia. Tulisan (ungkapan) ini menghendaki agar umat Islam memiliki cara berpikir dan corak hidup yang lebih maju dengan lebih menghidupkan kembali Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam tata hidupnya.
Dalam setiap diskusi, H. Zamzam dan Muhammad Yunus, merupakan pembicara utama, keduanya banyak mengemukakan pikiran baru. Keduanya memang memiliki kapasitas dan wawasan pengetahuan yang cukup luas dalam masalah keagamaan, apalagi ditunjang oleh profesi H. Zam-zam sebagai guru agama. Di samping itu, mereka memang mempunyai latar belakang pendidikan agama yang cukup kuat di masa mudanya.
Suatu saat diskusi mereka berlangsung seusai acara kenduri di rumah salah seorang anggota keluarga yang berasal dari Sumatera yang telah lama tinggal di Bandung. Materi diskusi itu adalah mengenai perselisihan paham keagamaan antara al-Irsyâd dan Jami'at Khair. Sejak saat itu, pertemuan-pertemuan berikutnya menjelma menjadi kelompok penelaah, semacam studi club dalam bidang keagamaan di mana para anggota kelompok tersebut dengan penuh kecintaan menelaah, mengkaji, serta menguji ajaran-ajaran yang diterimanya. Diskusi mereka juga dilakukan dengan para jama'ah shalat Jum'ah, sehingga frekuensi bertambah dan pembahasannya makin mendalam. Jumlah mereka tidak banyak hanya sekitar 12 orang. Diskusi tersebut semakin intensif dan menjadi tidak terbatas dalam persoalan keagamaan saja terutama dikhotomis tradisional-modernis Islam yang terjadi ketika itu, yang diwakili oleh Jamî'at Khair dan al-Irsyâd di Batavia, tetapi juga menyentuh pada masalah-masalah komunisme yang menyusup ke dalam Syarikat Islam (SI), dan juga usaha-usaha orang Islam yang berusaha menghadapi pengaruh komunikasi tersebut.
Maka sejak saat itu, timbulah gagasan di kalangan mereka untuk mendirikan organisasi Persatuan Islam atau nama lain yang diajukan oleh kelompok ini yaitu Permupakatan Islam, untuk mengembalikan ummat Islam kepada pimpinan al-Qur'an dan al-Sunnah. Organisasi yang didirikan di Bandung ini untuk menampung kaum muda maupun kaum tua, yang memiliki perhatian pada masalah-masalah agama. Kegiatan utamanya adalah diskusi. Setiap anggota dapat mengajukan masalah keagamaan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari
Maka dapat disimpulkan bahwa lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
A. Hassan dari Singapura pernah berkunjung ke Surabaya pada tahun 1920 dalam hubungan perdagangan batik keluarganya. Di sanalah ia mulai terlibat diskusi-diskusi agama dengan tokoh-tokoh agama di Indonesia sekitar pertentangan antara kaum muda dan kaum tua, antara paham modernis dan paham tradisional. Ayah A. Hassan memang termasuk orang yang berpandangan modernis. Maka dapat dimengerti jika A. Hassan juga sejalan dengan faham kaum muda. Tidak lama kemudian A. Hassan pindah ke Bandung dan masuk lingkungan Persatuan Islam. Selanjutnya ia memusatkan kegiatan hidupnya dalam pengembangan pemikiran Islam dan menyediakan dirinya sebagai pembela Islam.
Sampai awal tahun 1926, Persatuan Islam masih belum menampakan sebagai organisasi pembaharu, karena di dalamnya masih bergabung kaum muda dan kaum tua. Yang penting setiap anggota saling mendorong untuk lebih mendalami Islam secara umum sebagai agama yang dibawa nabi terakhir, Muhammad SAW. Namun dari segi penamaan, organisasi ini sejak awal memang sudah bersifat liberal. Betapa tidak, nama Persatuan Islam yang disingkat PERSIS adalah nama Latin, yang dianggap sebagai pengaruh penjajah Belanda. Apalagi sakralitas dan pengidentikan Islam dengan Arab sangat kuat di kalangan umat Islam ketika itu. Artinya mereka siap menerima risiko dan mempertahankan pendirian serta keyakinan yang mereka miliki, atas pemberian nama latin tersebut. Padahal organisasi yang lebih dulu muncul seperti Jamî'at Khair, Muhammadiyah, dan al-Irsyâd, menggunakan nama dan bahasa Arab.
Dari segi ini, Persatuan Islam menghendaki apa yang seharusnya disakralkan dan apa yang tidak seharusnya disakralkan oleh umat Islam. Karena penilaian terhadap sesuatu yang bersifat sakral itu berkaitan erat dengan kualitas ketauhidan dan bahkan pula berkaitan dengan wawasan keislaman yang dimiliki. Jika setiap berbahasa Arab identik dengan Islam, disitu wawasan keislaman yang dimiliki seseorang adalah tergolong awam. Hal itu terbukti kemudian Persatuan Islam menjelma menjadi organisasi yang paling ekstrim dan liberal dibandingkan dengan Muhammadiyah dan al-Irsyâd dalam melakukan penentangan terhadap tradisi-tradisi yang dianggap merupakan ajaran agama Islam, melalui konsep bid'ah, khurafat dan takhayul.
Tampilnya jam’iyyah Persatuan islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indinesia untuk melakukan pembaharuan Islam.

1.   Tujuan Persis (Persatuan Islam)

Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.

2.   Aktifitas Persis (Persatuan Islam)

Sebagai organisasi, Persatuan Islam memiliki ciri khas dalam gerak dan langkahnya, yaitu menitikberatkan pada pembentukan paham keagamaan yang dilancarkan melalui pendidikan dan da'wah lainnya. Aktifitas ini misalnya berbeda dengan Muhammadiyah, yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Kecenderungan Persatuan Islam untuk menempatkan dirinya sebagai pembentuk paham keagamaan Islam di Indonesia, hal ini dibuktikan dalam setiap aktivitas yang dibawa oleh misi Persatuan Islam.
Pedoman pokok yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip perjuangan kembali kepada ajaran al-Qur'an dan al-Sunnah, sekaligus sebagai identitas yang mewarnai seluruh gerak-langkah organisasi dan anggota-anggotanya, secara kongkrit tertulis dalam Qanûn Asasi (Anggaran Dasar) dan Qanûn Dakhili (Anggaran Rumah Tangga) Persatuan Islam.
Persatuan Islam bertujuan: Pertama, mengamalkan segala ajaran Islam dalam setiap segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat, kedua, menempatkan kaum muslimin pada ajaran aqidah dan syari'ah berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah. Untuk mencapai tujuan ini, maka organisasi dijalankan dalam bentuk ber-jama'ah, berimâmah, berimarah seperti dicontohkan Rasulullah SAW. Agar organisasi tetap terarah dalam mengemban misi perjuangannya maka Persatuan Islam menentukan sifatnya sebagai organisasi pendidikan, tabligh dan kemasyarakatan yang berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah, dengan rencana jihad diantaranya: Mengadakan kegiatan-kegiatan dakwah secara lisan, tulisan dan amal perbuatan dalam masyarakat yang sejalan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah; Melakukan amar ma'rûf dan nahyi munkar dalam segala ruang dan waktu, membela dan menyelamatkan umat Islam dari gangguan lawan-lawan Islam dengan cara hak dan ma'rûf yang sesuai dengan ajaran al-Qur'an dan al-Sunnah; Menghidupkan dan memelihara rûh al-jihâd (jiwa perjuangan) dan ijtihâd dalam kalangan para anggota khususnya dan umat Islam umumnya; Membasmi munkarat, bid'ah, khurafat, takhayul, taqlîd dan syirk dalam lingkungan anggota khususnya dan umat Islam umumnya; Memberikan jawaban dan perlawanan terhadap tantangan aliran yang mengancam hidup keislaman demi tegak dan kokohnya agama Allah; dan Mengadakan dan memelihara hubungan yang baik dengan segenap organisasi Islam di Indonesia dan seluruh dunia untuk menuju terwujudnya bun-yân al-Islâm (bangunan Islam) yang kokoh.

Dalam strategi da'wah, Persatuan Islam berlainan dengan Muhammadiyah yang mengutamakan penyebaran pemikiran-pemikirannya dengan tenang dan damai, Persatuan Islam seakan gembira dengan perdebatan dan polemik. Bagi Persatuan Islam dalam masalah agama tidak ada istilah kompromi. Apa yang dipandang tidak benar menurut dalil al-Qur`an dan al-Sunnah secara tegas ditolak. Sedangkan apa yang dianggap benar akan sampaikan walaupun pahit.
Latar belakang demikian itulah tampaknya yang membawa Persatuan Islam ke alam perdebatan, baik dalam rangka mempertahankan keyakinan keagamaannya maupun menunjukkan bahwa keyakinan agama yang dipegangi lawan dalam perdebatan itu dianggap salah. Dalam bidang publikasi melalui media cetak, pertama kali diterbitkan majalah Pembela Islam pada bulan Oktober 1929 di Bandung. Majalah tersebut terbit atas prakarsa Komite Pembela Islam yang diketuai oleh H. Zamzam. Penerbitannya berlangsung sampai tahun 1933 dan berhasil menerbitkan 72 nomor dengan sirkulasi sebanyak 2000 eksemplar, tersebar di seluruh pelosok tanah air bahkan sampai ke Malaysia dan Muangthai.
Pada bulan Nopember 1931, Persatuan Islam menerbitkan majalah khusus yang membicarakan masalah-masalah agama, tanpa menantang pihak-pihak bukan Islam. Majalah ini diberi nama al-Fatwa, ditulis dalam hurup Jawi, sehingga lebih banyak diminati oleh kalangan muslim di Sumatera,Kalimantan dan Malaysia. Namun publikasi majalah ini hanya berlangsung sampai Oktober 1933 sebanyak 20 kali terbit dengan sirkulasi 1000 eksemplar. Sebagai gantinya pada tahun 1935 diterbitkan lagi majalah baru yang bernama al-Lisan yang berlangsung sampai bulan Juni 1942 dengan 65 nomor penerbitan. Akan tetapi pada masa itu erat kaitannya dengan perpindahan A. Hassan, maka nomor 47 (terbit bulan Mei 1940) sampai dengan nomor 65 terbit di Bangil, Pasuruan Jawa Timur.
Majalah lain yang terbit pada tahun 1930-an ialah al-Taqwâ, sebuah majalah dalam bahasa Sunda, yang sempat terbit 20 nomor dengan sirkulasi 1000 eksemplar. Ada pula majalah yang berisi artikel-artikel jawaban terhadap pertanyaan para pembaca, yang umumnya berkenaan dengan masalah agama, ialah sebuah majalah bernama Sual-Jawab.
Sejalan dengan situasi politik Indonesia, yaitu masa pendudukan Jepang dan diteruskan dengan gawatnya revolusi Indonesia, semua penerbitan Persatuan Islam terhenti. Baru pada tahun 1948 terbit majalah Aliran Islam meskipun bukan resmi diterbitkan oleh Persatuan Islam, tetapi selalu memuat tulisan-tulisan tokoh-tokoh seperti Isa Anshary, M. Natsir dan E. Abdurrahman, yang mengutamakan peranan umat Islam dalam kancah politik Indonesia.
Pada tahun 1954, di Bangil terbit majalah al-Muslimûn, yang secara resmi juga tidak diterbitkan atas nama Persatuan Islam, tetapi tetap mengembangkan paham-pahamnya terutama yang berkaitan dengan hukum dan pengetahuan agama Islam. Pada bulan Maret 1956, Persatuan Islam Bangil menerbitkan lagi majalah yang meneruskan cita-cita Pembela Islam yang diberi nama Himayat al-Islâm (Pembela Islam). Majalah ini terbit sembilan kali dan berhenti pada bulan Mei 1957.
Majalah resmi yang diterbitkan Persatuan Islam pada masa kemerdekaan ialah Hujjat al-Islâm pada tahun 1956, Setelah Persatuan Islam resmi berdiri kembali pada tahun 1948 yang berpusat di Bandung. Majalah tersebut hanya terbit satu kali, kemudian dilanjutkan pada tahun 1962 dengan majalah Risalah, yang dipimpin oleh KHE. Abdurrahman dan Yunus Anis.
Di samping majalah-majalah, juga banyak diterbitkan buku-buku karangan tokoh Persatuan Islam seperti M. Isa Anshary, M. Natsir, KHE. Abdurrahman dan terutama buku-buku karangan A. Hassan yang yang paling banyak dan mendominasi kebutuhan baca anggota Persatuan Islam. Namun sejak saat itu dunia tulis menulis di kalangan ulama Persatuan Islam mengalami kemandegan, jika tidak boleh dikatakan tradisi itu mati sama sekali. Misalnya, untuk jenis buku terbaru yang bersifat kajian yang khas keagamaan Persatuan Islam, yang muncul ke permukaan terlihat baru ada satu, yaitu buku al-Hidâyah yang ditulis oleh Ustadz A. Zakaria dalam bahasa Arab, yang kemudian diterjemahkan oleh penulisnya ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dalam 3 jilid pada tahun 1996. Selebihnya buku-buku yang beredar masih yang ditulis oleh ulama-ulama Persatuan Islam periode terdahulu.
Sementara dalam kegiatan perdebatan, Persatuan Islam, yang diwakili oleh A. Hassan, dan KHE. Abdurrahman tercatat telah beberapa kali melakukan perdebatan dalam rangka mempertahankan keyakinan dan sekaligus menunjukkan mana sesungguhnya ajaran agama Islam yang benar, sekurang-kurangnya dalam pandangan keagamaan Persatuan Islam. Perdebatan secara terbuka mengenai masalah taqlîd, talqîn dan lain sebagainya, A. Hassan dengan KH. Wahab Hasbullah, Salim bin Zindan, H. Abu Chair, KHA. Hidayat, Ahmad Sanusi, yang bertempat di Bandung, Cirebon, Makasar, Gorontalo dan tempat-tempat lainnya.
Sementara perdebatan dengan pihak non muslim, juga pernah terjadi beberapa kali perdebatan, dalam kurun waktu antara tahun 1930-1940 tercatat dalam verslag debat, laporan tentang diskusi dengan pihak non-muslim, antara lain yaitu: Perdebatan dengan orang Kristen Sevendays Adventist, tentang kebenaran agama Kristen dan Bibel; dan Perdebatan dengan para intelektual Belanda seperti Dier huis, Eising dan Prof Schoemaker. Yang terakhir ini kemudian masuk Islam dan menjadi sahabat A. Hassan serta menjadi co-editor buku Cultur Islam bersama Muhammad Natsir.

Dalam penyebaran anggota, Persis lebih mementingkan kualitas daripada menambah jumlah. Deliar Noer menyebut Persis "tidak berminat membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota. Kendati demikian, dalam keanggotaan yang sedikit itu, Menurut Deliar Noer, masyarakat belum siap menerima pembaharuan gaya Persatuan Islam, terutama muslim tradisional. Tetapi ada suatu keistimewaan dalam Persatuan Islam ini yaitu anggotanya terdiri dari golongan intelektual kendati dalam jumlah terbatas.
Dengan demikian kegiatan da'wah yang dilakukan oleh Persatuan Islam menggunakan ragam media. Dari mulai penerbitan buku, majalah dan jurnal-jurnal lainnya, ceramah, dan hingga perdebatan.

3.   Kepemimpinan Persis (Persatuan Islam)

Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom)
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini terdapat perbedaan yang ckup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.

4.   Persis (Persatuan Islam) Masa Kini

Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.

5.   Mengenal Tokoh-tokoh Persis (Persatuan Islam)

a.    Ahmad Hassan

Keberadaan sebuah organisasi sejak awal berdirinya hingga sekarang tidak terlepas dari peran serta para tokohnya. Demikian pula halnya dengan Persis. Organisasi yang pertama kali dibentuk oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus ini telah melahirkan sejumlah tokoh besar. Mereka menjadi tumpuan umat dalam memahami masalah agama. Selain Ahmad Hassan (A. Hassan), salah seorang tokoh dan menjadi guru utama Persis, organisasi Islam ini juga melahirkan tokoh lainnya, Mohammad Isa Anshary, KHE Abdurrahman, dan KH Abdul Latief Muchtar. Bagaimana sosok dan kiprah mereka?
b.   Mohammad Natsir

Dilahirkan di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, pada 17 Juli 1908. Ia adalah putra pasangan Sutan Saripado-seorang pegawai pemerintah-dan Khadijah. Ia pergi ke Bandung pada 1927 untuk melanjutkan studinya di AMS A-2 (setingkat SMA sekarang).Di Kota Kembang ini, minat Natsir terhadap agama semakin berkembang. Karena itu, selama di Bandung, Nastir berusaha memperdalam ilmu agamanya dengan mengikuti pengajian-pengajian Persis yang disampaikan Ahmad Hassan. Selain itu, Natsir juga mengikuti pelajaran agama di kelas yang khusus yang diadakan oleh Ahmad Hassan untuk anggota muda Persis yang sedang belajar di sekolah milik Pemerintah Belanda.
Bahkan, dengan inisiatif Natsir, Persis kemudian mendirikan berbagai lembaga pendidikan, antara lain Pendidikan Islam ( Pendis ) dan Natsir sebagai direkturnya ( 1932-1942 ) serta Pesantren Persatuan Islam pada 4 Maret 1936. Keberadaan sekolah-sekolah ini ditujukan untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan memperdalam dan mampu mendakwahkan, mengajarkan, dan membela ajaran Islam. Natsir adalah orang yang terlibat langsung dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan Ahmad Hassan.
Dengan demikian, Natsir mempunyai hubungan yang dekat dengan Persis. Di bawah kepemimpinannya, Persis menjelma menjadi organisasi yang bukan hanya berupa kelompok diskusi atau pengajian tadarusan kelas pinggiran, melainkan sebuah organisasi Islam modern yang potensial. Dalam waktu singkat, ia berhasil menempatkan Persis dalam barisan organisasi Islam modern.

c.    Mohammad Isa Anshary

Masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan periode kedua Persis sesudah kepemimpinan KH Zamzam, KH Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Mohammad Natsir yang mendengungkan slogan “Kembali kepada Alquran dan As-Sunnah”. Pada periode kedua ini, salah seorang tokoh Persis yang pernah memimpin adalah KH Mohammad Isa Anshary. KH Mohammad Isa Anshary lahir di Maninjau Sumatra Tengah pada 1 Juli 1916. Pada usia 16 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Islam di tempat kelahirannya, ia merantau ke Bandung untuk mengikuti berbagai kursus ilmu pengetahuan umum. Di Bandung pula, ia memperluas cakrawala keislamannya dalam Jam’iyyah Persis hingga menjadi ketua umum Persis.
Tampilnya Isa Anshary sebagai pucuk pimpinan Persis dimulai pada 1940 ketika ia menjadi anggota hoofbestuur ( Pusat Pimpinan ) Persis. Tahun 1948, ia melakukan reorganisasi Persis yang mengalami kevakuman sejak masa pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan. Tahun 1953 hingga 1960, ia terpilih menjadi ketua umum Pusat Pimpinan Persis.
Selain sebagai mubaligh, Isa Anshary juga dikenal sebagai penulis yang tajam. Ia termasuk salah seorang perancang Qanun Asasi Persis yang telah diterima secara bulat oleh Muktamar V Persis ( 1953 ) dan disempurnakan pada Muktamar VIII Persis ( 1967 ). Dalam sikap jihadnya, Isa Anshary menganggap perjuangan Persis sungguh vital dan kompleks karena menyangkut berbagai bidang kehidupan umat. Dalam bidang pembinaan kader, Isa Anshary menekankan pentingnya sebuah madrasah, tempat membina kader-kader muda Persis.
Semangatnya dalam hal pembinaan kader tidak pernah padam meskipun ia mendekam dalam tahanan Orde Lama di Madiun. Kepada Yahya Wardi yang menjabat ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda Persis periode 1956-1962, Isa Anshary mengirimkan naskah “Renungan 40 Tahun Persatuan Islam” yang ia susun dalam tahanan untuk disebarkan kepada peserta muktamar dalam rangka meningkatkan kesadaran jamaah Persis. Melalui tulisannya, Isa Anshary mencoba menghidupkan semangat para kadernya dalam usaha mengembangkan serta menyebarkan agama Islam dan perjuangan organisasi Persis. Semangat ini terus ia gelorakan hingga wafatnya pada 2 Syawal 1389 H yang bertepatan dengan 11 Desember 1969.

d.    KHE Abdurrahman

KH Endang Abdurrahman tampil sebagai sosok ulama rendah hati, berwibawa, dan berwawasan luas. Dengan gaya kepemimpinan yang luwes, ia telah membawa Persis pada garis perjuangan yang berbeda: tampil low profile dengan pendekatan persuasif edukatif, tanpa kesan keras, tetapi teguh dalam prinsip berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Abdurrahman dilahirkan di Kampung Pasarean, Desa Bojong Herang, Kabupaten Cianjur, pada Rabu, 12 Juni 1912. Ia merupakan putra tertua dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Ghazali, seorang penjahit pakaian, dan ibunya bernama Hafsah, seorang perajin batik.
KH Aburrahman dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hukum yang tawadhu. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menelaah kitab-kitab, mengajar di pesantren, dan hampir setiap malam mengisi berbagai pengajian. Sosok ulama Persis yang satu ini, sebagaimana ditulis Fauzi Nur Wahid dalam bukunya KHE Abdurrahman: Peranannya dalam Organisasi Persatuan Islam, semula memiliki pemahaman keagamaan yang bersifat tradisional. Namun, pada kemudian hari, ia beralih menjadi ulama yang berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah serta menentang berbagai ibadah, khurafat, dan takhayul.
Pada masa kepemimpinannya, banyak persoalan mendasar yang dihadapi Persis. Di antaranya, bagaimana mempertahankan eksistensi Persis di tengah gejolak sosial politik yang tidak menentu. Jihad perjuangan Persis dihadapkan pada masalah-masalah politik yang beragam. Selain itu, Persis juga berhadapan dengan aliran-aliran yang dianggap menyesatkan umat Islam. Untuk menghadapi aliran tersebut, ia memerintahkan para mubaligh Persis dan organisasi yang ada di bawah Persis untuk terjun ke daerah-daerah secara rutin dalam membimbing umat.

e.    KH Abdul Latief Muchtar

Dilahirkan di Garut pada 7 Januari 1931 dari pasangan H Muchtar dan Hj Memeh. Sejak kecil, KH Abdul Latief Muchtar sudah bersentuhan dengan Persis hingga akhirnya menjadi ketua umum Persis, menggantikan KHE Abdurrahman yang wafat. Jika Persis kini tampak low profile, itu semua tidak lepas dari kepemimpinan KH Abdul Latief. Pada masa kepemimpinannya, Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis.Pada masa awal jabatannya sebagai ketua umum Persis, KH Abdul Latief dihadapkan pada keguncangan jamaah Persis karena adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang menuntut semua organisasi kemasyarakatan ( ormas ) di Indonesia mencantumkan asas tunggal Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasar organisasinya.
Persoalan asas tunggal ini dihadapi dengan visi dan pemikiran KH Latief yang akomodatif. Ia mencoba menjembatani persoalan ini dengan baik.
Dalam bidang jam’iyyah ( organisasi ), KH Latief bertekad menjadikan organisasi Persis makin terbuka ( inklusif ). Persis harus mampu diterima semua kalangan, tanpa ada kelompok yang merasa takut dengan keberadaannya.
KH Latief bercita-cita mengembangkan objek dakwahnya ke lingkungan kampus. Baginya, kampus adalah lembaga intelektual yang harus dirangkul dan diisi dengan materi dakwah yang tepat. Karena itulah, ia mendukung sepenuhnya pembentukan organisasi otonom mahasiswa Persis di berbagai perguruan tinggi dalam satu wadah Himpunan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswi Persis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar